Jumat, 04 Maret 2011

17. Bayan Maulana Muhammad Saad Al Khandalawi

BAYAN SUBUH
ASBAB DITERIMA DAN TERTOLAKNYA AMAL 

Dalam setiap bayan ini yang Allah mau adalah bukan hanya mendengarkan tetapi juga dilakukan atau diamalkan. Kita dengarkan lalu kita amalkan, ini yang Allah mau. Di dalam Al Quran Allah menyindir bahwa mereka mengatakan, “Kami mendengarkan”, padahal mereka tidak mendengarkan. Ilmu itu tuntutannya adalah taat pada Allah. Oleh karena itulah hakekat mendengarkan ini adalah bagaimana semua yang kita dengarkan ada dalam kehidupan kita. Yang kita dengar ini bukan untuk pengetahuan, tetapi untuk diamalkan. Apa yang didengarkan untuk diamalkan. Sering kali kita lakukan, melewatkan kesempatan untuk beramal, padahal kita tahu fadhilahnya besar. Jadi lewat begitu saja kesempatan untuk beramal. Ataupun kita beramal tetapi kita tidak tahu fadhilahnya, ini sayang sekali. Contoh hari ini adalah hari jum’at apa fadhilahnya :
Mandi Jumat
Mandi jumat ini akan mengeluarkan dosa-dosa kita dari ujung rambut-rambut kita yang tumbuh, bahkan dari akar-akarnya rambut atau bulu-bulu kita akan keluar juga. Padahal akar-akar rambut ini tidak mengeluarkan dosa, namun kalaupun ada akan keluar juga dosa-dosa kita berguguran.
Kita sudah lakukan ini semua, tetapi fadhilahnya kita tidak tahu. Amal yang dilakukan tanpa Fadhilah tidak akan ada Ihtisab. Ihtisab itu apa ? yaitu harapan pada Allah. Kita melakukan suatu amalan, tetapi tidak memperhatikan fadhilahnya, maka ini hanya akan menjadi adat saja, kebiasaan saja. Jadi kita beramal karena suasana saja, kita terbawa oleh suasana saja, tanpa Ihtisab. Kita sedang sholat, tiba-tiba ada non-muslim mengikuti kita ikut sholat berjamaah. Kita tanya, “kenapa kamu ikut sholat berjamaah?” dia jawab, “Saya ingin melakukan apa yang kamu lakukan.” Begitu saja jawabannya, tanpa memahami maksudnya dan fadhilahnya. Ini namanya terbawa suasana. Jadi bukan seperti ini yang diinginkan, beramal karena adat ataupun karena terbawa suasana. Yang kita inginkan adalah bagaimana orang itu beramal bukan karena adat atau kebiaaan atapun karena terbawa suasana. Namun yang kita inginkan adalah merubah semua yang tadinya hanya adat atau kebiasaan menjadi Ibadah. Bagaiamana merubah adat atau kebiasaan menjadi ibadah ? yaitu dengan menghadirkan Ihtisab, Ikhlas, dan Ihsan.
Ibadah harus dilakukan dengan sifat, apa sifatnya : Ihtisab, Ikhlas, dan Ihsan. Inilah sifat ibadah. Jadi dalam beribadah harus ada pengharapan, keikhlasan dan ihsan. Apa itu ihsan ? bagaimana seseorang yang melakukan amal ini didalamnya ada Allah. Setiap beramal merasa melihat Allah. Setiap beramal pandangan hanya kepada Allah Swt, ini nantinya akan mendatangkan khusyu. Ini akan mempercantik daripada amalan kita. Seorang mengatakan ingin bertemu dengan Allah. Maka untuk dapat mencapai itu, dalam ibadahnya hendaknya dia jangan sekutukan sesuatu dengan Allah Swt. Apabila orang keliling dunia dia ingin mendapatkan Allah Swt. Ibadah dan Amal itu semua akan mendatangkan kedekatan dengan Allah Swt, selama itu ada ketawajjuhan kepada Allah Swt. Dengan tawajjuh kepada Allah Swt dalam setiap ibadah maka ini semua akan menjadi Dzikir. Apabila dalam ibadah tidak ada tawajjuh kepada Allah Swt maka akan ada Goflah. Ibadah-ibadahnya menjadi Goflah tanpa ketawajjuhan, menjadi kebiasaan. Amal dilakukan seharusnya menjadi ibadah bukan menjadi kebiasaan. Maka perlu sebelum kita melakukan amal, hadirkan fadhilahnya. Lalu kalau mau melakukan dosa maka fikirkan, bayangkan, siksanya di akherat nanti. Setiap mau melakukan maksiat fikirkan, “Bagaimana ini kalau maksiat kuat tidak menahan adzabnya nanti di akherat ?” Begitu juga kalau mau melakukan kebaikan fikirkan pahalanya dan balasannya di akherat nanti. Inilah yang seharusnya kita lakukan yaitu membawa amal pada janji Allah Swt.
“Wa’addal Wa’id” : Janji Allah dan AncamanNya.
Kebanyakan dari kita beramal tapi kosong dari fadhilah, sehingga lewat begitu saja. Beramal tapi seperti adat atau kebiasaan, tidak ada pengharapan. Begitu juga ketika melakukan maksiat, tidak ada sangkutan pada ancaman. Sehingga ketika melakukan maksiat santai saja, tidak menganggap bahwa itu akan mendatangkan ancaman besar di akherat. Oleh sebab itu bagaimana dalam setiap amalan ini kita hadirkan fadhilahnya. Kita jadikan setiap amalan ini menjadi dzikir. Apa itu dzikir ? yaitu tawajjuh kepada Allah dalam hati. Jika dalam setiap amalan ini ada ketawajuhan kepada Allah Swt dalam hati maka setiap amal ini akan menjadi dzikurullah. Kita berdzikir dengan lisan maksudnya apa ? ini agar ada ketawajuhan dalam hati. Begitu juga ketika kita mendengarkan bayan ini, ceramah ini, diperlukan ketawajuhan agar menjadi dzikir. Bagaimana ketika kita mendengar bayan ini menjadi dzikir. Telinga ini dzikirnya adalah dengan mendengar. Oleh karena itu ketika kita membaca Al Quran pahalanya lebih tinggi dengan melihat dibandiing hanya dengan mendengar karena matanya pun ikut berdzikir, bukan telinga saja. Jadi dzikir mata ini adalah dengan melihat. Ketika kita membaca Al Quran ini kita melihat langsung dan mendengar langsung, mata dan telinga ada ketawajjuhan, inilah dzikir mata dan telinga. Beda kalau hanya dengan mendengar bacaan qur’an saja. Ketika kita membaca Al Quran, mata kitapun tergunakan untuk berdzikir. Jadi Melihat itu dzikir Mata, mendengar itu dzikir telinga, dan membaca di dzahirkan secara lisan itu dzikir mulut kita. Hanya dengan membaca Quran kita mendapatkan tiga keutamaan dzikir dari mata, mulut, dan telinga.
Bagaimana kita gunakan seluruh anggota tubuh kita ini untuk berdzikir kepada Allah Swt, inilah yang dinamakan dengan Ahli Dzikir. Kita fikirkan bagaimana setiap anggota tubuh kita ini ada ketaatan pada Allah Swt, sehingga setiap geraknya menjadi dzikir kepada Allah Swt.  Maka ketika kita mendengarkan bayan saat ini kita jadikan dzikir kepada Allah Swt yaitu dengan ketawajuhan. Apabila kita bisa dengarkan dengan tawajjuh maka nanti Allah akan berikan Hidayah. Kita mendengar sekarang ini supaya kita dapat Hidayah. Mendengar untuk dapat Hidayah. Allah Swt menjadikan hidayah bagi orang yang mendengarkan dengan penuh Tawajjuh.
“Alladzina yattabiuna qoula fattabiuna….”
Maksudnya apa yaitu mendengarkan dengan penuh perhatian. Apa yang sekarang kita dengarkan ini kita jadikan dzikurullah, dan apa yang kita dengarkan ini kita niatkan untuk diamalkan. Tabligh itu bukan hanya sekedar untuk disampaikan saja, tidak. Tabligh itu untuk apa ? untuk diamalkan. Tabligh itu bukan untuk belajar bayan atau takrir, tetapi untuk belajar amal. Orang yang ahli takrir dan ahli bayan itu berarti ahli tabligh, bukan itu, ahli takrir dan ahli bayan itu seharusnya ahli amal. Ahli Tabligh itu adalah Ahli Amal. Takrir itu sama dengan Taklim yaitu kita mengajarkan amal pada ummat. Mentaklimkan orang dengan praktek, yaitu bagaimana taklim itu seharusnya dilakukan.
Nabi Saw dan para sahabat ini mengajarkan dengan praktek, dengan amal. Bagaimana kita melakukan taklim ? yaitu dengan amal. Mentaklimkan omongan itu dengan apa ? dengan amal, dengan praktek. Oleh karena itulah Tabligh itu dilakukan semuanya dengan Amal bukan dengan pembicaraan. Seorang yang menyampaikan amalan maka itu dilakukan dengan amalan itu pula. Menularkan amalan itu kepada orang lain bukan dengan bicara, tetapi dengan amal. Jika kita amalkan maka orang akan tertular. Maka dalam dakwah perlu kita tekankan pengamalan sehingga muncul keyakinan terhadap amal. Apabila kita terus berada dalam amalan-amalan, maka nanti akan Allah munculkan Hakikat dalam Hati, yaitu Keyakinan dalam Hati. Barang siapa yang bersungguh-sungguh di jalan Allah Swt, maka nanti Allah Swt akan berikan dia hidayah. Dengan sungguh-sungguh dan amal yang lurus, baru Allah kasih Hidayah :
“Walladzina jahadu fina lanahdiyannahum subulana”
Artinya : “Barangsiapa yang bersungguh-sungguh dijalan Allah maka Allah akan berikan dia Hidayah.”
Ini adalah janji Allah, untuk siapa ? untuk orang yang serius dalam dakwah dan bersungguh-sungguh dalam dakwah. Kita ini bertabligh dengan amalan, sehingga hakikat atau keyakinan ini masuk dalam hati. Oleh karena itulah yang kita sampaikan pertama kali dalam setiap pembicaraan kita ini adalah tentang keimanan. Kalimat “La Illaha Illallah” ini yang kita dakwahkan. Tanpa Iman :
1.     Amal tidak mungkin istiqomah
2.     Amal tidak akan mendapatkan pahala.
3.     Amal tidak akan diterima.
4.     Apa yang dijanjikan Allah Swt tidak akan disempurnakan.
Janji-janji Allah akan Allah sempurnakan, pahala-pahala besar akan Allah kasih, amal-amal akan mendatangkan Qobuliat, amal akan istiqomah, syaratnya adalah Iman. Makin baik Iman  kita, makin banyak Ihtisab. Makin banyak Ihtisab, maka makin banyak pahala. Orang yang tidak ada ihtisab dalam amal maka dia tidak akan mendapatkan apa-apa. Amal tidak akan mendapatkan pahala tanpa ihtisab, karena dalam amal ini tidak ada pengharapan kepada Allah Swt. Amal yang tidak berpahala ini adalah amal yang tidak disertai dengan pengharapan kepada Allah Swt atas janji-janji Allah Swt. Sejauhmana keimanan ini bisa mendatangkan keikhlasan, tanpa iman tidak akan dapat ikhlas. Orang tidak beramal ini karena lemahnya iman, tetapi orang yang masuk dalam amalan ini karena adanya Iman. Iman ini hasilnya adalah keistiqomahan, karena pandangannya tertuju kepada yang paling tinggi, paling atas, yaitu Allah Swt. Orang yang beramal sedikit ini pandangannya bukan kepada Allah Swt. Orang Riya pada amalnya ini amalnya akan sedikit sebab pandangannya bukan kepada Allah Swt.
“Ya hayyuannas wala inkullu namma humilat kholila”
Orang Riya ini dzikirnya tidak kepada Allah sehingga amalnya akan sedikit-sedikit. Ini karena pandangannya tertuju bukan pada Allah,  sehingga amal yang dilakukannya untuk selain Allah Swt. Semakin lemah iman, semakin kecil kemungkinan hakikat masuk dalam hati. Karena lemahnya Iman, maka amalan ini akan kemasukan Riya. Karena lemahnya iman maka yang dilihat bukan Allah. Bagaimana Iman bertambah maka Khidmat akan bertambah, kalau tidak maka akan kemasukan Riya.
Dalam Hadits :
“Riya yang paling rendah itu adalah Syirik”
Namanya syirik itu dosa dan Allah tidak mengampuni dosa syirik. Syirik itu membawa kita kepada Jahannam, sedangkan Iman ini membawa kita ke surga. Amal yang ada syiriknya akan membawa seseorang kedalam neraka. Semua bentuk kesyirikan akan menjatuhkan dia kedalam neraka. Oleh karena itulah kita perhatikan kelurusan amal kita. Ada yang namanya syirik yaitu menyembah berhala. Ini jenis syirik yang semua orang tau yaitu syirik berhala. Jenis syirik ini semua orang bisa tahu bagaimana dia beribadah dan menyembah selain Allah. Syirik berhala ini kita dapat melihatnya wujud penyembahannya  yaitu kepada patung atau sejenisnya. Anak kecilpun bisa mengetahui hal ini, bahwa yang disembah bukan Allah, yang disembah ini selain Allah. Semua orang islam bisa tahu bahwa ini mempersekutukan Allah dengan yang lain. Namun ada jenis syirik lain yang namanya syirik Amali atau syirik amalan. Syirik amalan ini berawal dari riya, dan syirik amalan ini ada dalam kehidupan orang islam. Apa sebabnya seseorang berimal ? disinilah letak perbedaannya apakah dia tawajjuh kepada Allah atau beramal untuk selain Allah. Kalau dia beramal untuk selain Allah inilah yang namanya syirik amalan, itulah Riya. Caranya bagaiamana menjaga amalan ini? Kita beramal dengan niat hanya kepada Allah, dan kita berharap Allah terima amal kita. Orang yang beramal tanpa niat tidak ada amalan.
“La amala li malladzi mayahsya” : “Tidak ada amalan bagi yang tidak niat”
Macam-macam Syirik
Dengan Iman kita luruskan niat kita. Nabi Saw katakan syirik itu ada 2 :
1.     Syirik Berhala : Beribadah kepada selain Allah Swt.
2.     Syirik Amal : Beribadah untuk selain Allah Swt.
Apa maksudnya beribadah untuk selain Allah ? ini jasadnya seakan-akan beribadah kepada Allah tapi hatinya kepada selain Allah. Akhirnya amalnya itu tujuannya untuk mendapatkan ridho selain Allah. Inilah tanda Riya, orang beramal tetapi ingin di puji. Seharusnya dalam beramal ini yang kita cari adalah pujian dari Allah. Padahal ketika kita beramal, ini bantuan dari Allah, tanpa pertolonganNya tidak mungkin bisa kita beramal. Orang ketika beramal itu memuji Allah, dan setelah selesai beramal juga memuji Allah, sebab dia bisa beramal karena karunia dari Allah. Sedangkan orang riya, dia beramal ingin dipuji selain Allah. Beramal untuk mahluk, dengan keinginan mendapatkan pujian dari mahluk.
Amal ini akan mendatangkan pahala jika ada Iman. Tanpa Iman tidak akan ada Ihtisab, pengharapan kepada Allah, yang ada adalah Goflah. Qobuliat Amal ini jika karena ada Iman. Amal itu dikabulkan karena ada ikhlas. Ikhlas ini juga didapatkan dengan Iman. Jika ada Iman maka akan ada keistiqomahan.
“Innalladzina Robbunnallah Sumastaqomu…”
Ini kehormatan ayat ini Allah berikan kepada siapa ? kepada orang yang yakin pada Allah Swt. Orang yang meyakini semua perkataan Allah Swt ini adalah benar. Orang yang dalam setiap keadaan selalu mendahulukan Allah. Orang yang meyakini bahwa segala sesuatu ini milik Allah, dan kerja Allah Swt. Semua yang terjadi ini ada dalam genggaman dan kekuasaan Allah Swt. Umumnya ketika melihat kekuasaan maka orang-orang akan melihat bahwa ini adalah perintah dari pemerintah. Namun orang yang yakinnya pada Allah ketika meilhat kekuasaan maka dia akan segera mentawajjuhkan dirinya kepada Allah, bahwa semua kekuasaan ini adalah milik Allah. Ketika orang pada umumnya mendapatkan perintah dari pemerintah, maka dia akan merasa terpaksa mengerjakannya. Orang pada umumnya melihat keadaan, ahwal, bukan melihat perintah, ini keliru namanya. Sehingga orang tersebut ketika mengerjakan perinta, maka dia kerjakan dengan terpaksa, karena apa ? karena keadaan. Ini karena keyakinannya yang kurang kepada Allah Swt, sehingga dalam beramal ini yang dilihat ahwal, keadaannya, bukan perintah Allah dalam keadaan itu apa.  Akibatnya kebanyakan Orang pada umumnya akan ikut pada pemerintah dalam beragama. Inilah yang kebanyakan terjadi hari ini. Padahal seharusnya pemerintah ikut pada agama bukan agama mengikuti pemerintah.
Jadi orang akan bisa istiqomah sesuai dengan kekuatan Imannya. Istiqomah ini hanya bisa dilakukan dengan keyakinan. Jika ada keyakinan maka keistiqomahan akan datang. Mengapa demikian ? orang yang imannya kuat maka pengharapannya pada Allah akan besar, dan sangkaannya akan kuat terhadap Allah Swt. Ia akan berprasangka yang kuat bahwa Allah akan memenuhi janjiNya. Orang berani meninggalkan perintah Allah karena dia tidak meyakini dalam perintah Allah ini ada kejayaan. Padahal Allah swt ini memberi sesuai dengan prasangkaan hambaNya. Orang yang mempunyai Iman maka dia akan berprasangka yang kuat terhadap Allah, sedangkan yang lemah iman tidak akan mempunyai prasangka yang kuat terhadap Allah Swt.
Kisah Abu Darda RA :
Suatu ketika terjadi kebakaran di sekeliling rumahnya Abu Darda RA. Ketika itu Abu Darda RA  diberitahu bahwa rumahnya terbakar. Abu Darda katakan, “Tidak mungkin rumah saya terbakar, saya tidak percaya kalau rumah saya kebakaran.” Kemudian datang lagi orang memberitahu, “Wahai Abu Darda rumah kamu terbakar.” Abu Darda RA kembali katakan, “Saya tidak percaya rumah saya terbakar, tidak mungkin rumah saya terbakar.” Tiga orang datang menyampaikan kepada Abu Darda bahwa rumahnya terbakar tetapi semuanya di nafikan oleh Abu Darda RA. Orang-orang bertanya kepada Abu Darda RA, “kenapa kamu tidak percaya rumah kamu terbakar.” Ini dikarenakan Abu Darda RA lebih meyakini khabar dari Allah Swt dibanding pandangan Mahluk. Inilah ujian keimanan ketika Allah mempertemukan khobar dan pandangan dari mahluk, kemana kita lebih condong. Khobar dari Allah sedangkan pandangan dari Mahluk, yang nampak oleh Mahluk. Mengapa Abu Darda RA begitu yakin rumahnya tidak akan terbakar ? ini dikarenakan Abu Darda RA mendapatkan amalan yang diberikan oleh Rasullullah SAW, yang jika dibaca dipagi hari akan terselamatkan dari segala musibah hingga sore hari, dan jika dibaca disore hari akan terlindungi dari segala musibah hingga pagi hari. Inilah Khobar yang diyakini oleh Abu Darda RA. Begitulah keyakinan Abu Darda RA dan prasangkanya yang kuat atas khobar dari Allah melalui rasulNya. Abu Darda RA lebih kuat prasangkanya terhadap Allah dibanding pandangan Mahluk terhadap rumahnya. Dan ternyata memang rumahnya Abu Darda RA tidak terbakar sedikitpun.
Dibacakan Doa Abu Darda oleh Maulana Saad
Hari ini kita baca doa, tetapi keyakinannya tidak ada sama sekali, kalaupun ada tapi keyakinannya pada Asbab. Doa pada Allah tetapi asbab yang diyakini. Padahal kita membaca doa ini untuk mendapatkan Qobuliat, terutama doa-doa masnunat dalam setiap amal. Celakanya hari doa saja kita tidak mau membacanya, tidak mau belajar. Padahal tidak ada yang lebih diyakini daripada doa-doa masnunat ini, yaitu doa yang memiliki qobuliat jika kita meyakini. Kita belajar doa-doa yang diajarkan oleh Nabi Saw. Tidak ada satu orangpun yang mengajarkan doa sebanyak ini melebihi Nabi Saw. Nabi-nabi lain tidak ada yang mengajarkan Doa sebanyak Nabi Saw. Dulu waktu kita keluar  di awal dakwah, kita rajin sekalai mempelajari dan menghafal doa-doa masnunah. Bagaimana dengan sekarang ? sudah lupa semua belajar doa. Keluar dijalan Allah lagi dan lagi, tetapi perkara ini sudah di tinggalkan, pinginnya di anggap sebagai orang lama, sebagai penanggung jawab.
Abu Darda RA pagi-pagi sudah baca doanya, orang datang bilang rumahnya terbakar apa kata Abu Darda RA, “Aku tidak percaya, tidak mungkin rasullullah Saw mengajarkan aku doa untuk terhindar dari musibah, namun rumahku tetap terbakar, ini perkara yang tidak mungkin”. Allah akan penuhi janji pada seseorang apabila orang ini yakinnya sempurna. Prasangka kita terhadap Allah ini bisa mendatangkan kekuatan yang besar, apa itu ? mendatangkan Qudratullah dalam diri kita. Orang yang sangkaannya kuat terhadap Allah berarti dia ada Maaiyatullah, kebersamaan dengan Allah.
Abu Darda RA, setelah padam apinya orang datang kepada Abu Darda RA, “Wahai Abu Darda tadi ada kebakaran disekitar rumahmu, namun hampir saja api mengenai rumahmu, namun tidak jadi terbakar.” Apakah ini hanya kebetulan ? bukan kebetulan, tetapi dengan amalan dan doa tadi yang dikasih Nabi Saw. Apabila dalam setiap amal kita yakiniJanji Allah Swt, maka Allah penuhi janjinya. Amal ini akan sempurna apabila ada yakin pada janji Allah, tidak dengan ragu-ragu. Lihat orang-orang munafik , mereka ini ciri-cirinya beramal lihat keadaan, lihat ahwal. Orang beriman ini ketika beramal yang dilihatnya adalah apa perintah Allah pada saat itu.
Perang Khanddaq ( parit )
Allah Swt berjanji melalui lisan Nabi Saw. Apa janjinya ?Allah katan melalui Nabi Saw bahwa Kalian, para sahabat RA, akan menaklukan istana-istana Kaisar dan Kisra. Ini sudah berjalan dan sudah terjadi. Apa kata orang munafik ketika itu, “lihat itu  dengarkan perkataannya muhammad dengan pengikutnya. Dalam keadaan kelaparan membuat parit, mengatakan akan mengalahkan kaisar dan kisra.” Semua orang mendengar janji Allah Swt itu. Namun apa kata orang Munafiqin ketika itu bahwa Allah Swt tidak menjadikan semua ini, kecuali tipuan. Orang-orang Munafiq mengatakan, “Ini semua palsu saja, mengapa kalian susah-susah membuat parit jika semua itu pasti menang, bahwa kaum muslimin akan menaklukkan kisra dan kaisar.”
Allah berfirman : “Orang-orang beriman ini meyakini janji Allah dan RasulNya, dan setiap ada tambahan janji maka bertambah keimanan mereka. Namun orang Munafiqin ini ragu dengan janji Allah.”
Ini Allah swt menyampaikan janji melalui lisan Rasullullah Saw. Ini adalah ujian untuk orang beriman juga. Ujian Iman bagi orang beriman. Secara Dzohirnya janji Allah ini seperti tidak sesuai dengan yang terlihat.
Isra Mi’raj Nabi Saw
Dalam Mi’raj Nabi Saw, ini juga ujian untuk melihat siapa yang percaya dengan Nabi Saw dan siapa yang tidak percaya pada Nabi Saw. Ini perjalanan bumi saja dibutuhkan waktu sebulan ke masjidil Aqsa ketika itu tidak ada pesawat terbang, sedangkan perjalanan kelangit ? ini tidak terjangkau, tidak ada batasnya, tidak akan bisa ditempuh oleh manusia. Namun perjalanan bumi yang satu bulan dan langit yang tidak ada batasnya, ini semua dilakukan dalam semalam saja oleh Nabi Saw. Paginya Abu Jahal berkata dengan nada mengejek, “Ada apa ini, ada apa ? hai muhammad ada berita baru apa lagi sekarang ?” Nabi Saw berkata kepada Abu Jahal, “Semalam aku dibawa ke Baitul Maqdis, kemudian saya dibawa kelangit, paginya saya sudah sampai disini lagi.” Begitu orang munafiqin mendengar mereka ketawa-ketawa saja diolok-olok, sebab kenapa mereka tidak ada keyakinan. Kaum kafirin ketika mendengar itu langsung mengolok-ngolok nabi dan menganggap sebagai berita bohong dan palsu. Mereka yang  yakinnya lemah ketika mendengar mereka juga ragu-ragu. Sedangkan yang tidak ada keyakinan mendustakan berita dari Nabi Saw.
Jadi berita isra’ miraj Nabi Saw yang sangat luar biasa tersebut, dan tidak bisa dijangkau oleh akal manusia, membuat orang yang imannya lemah jadi murtad. Mereka yang Imannya lemah ini menjadi murtad karena mereka mengukur pembicaraan Nabi Saw ini dari akalnya bukan dari yakinnya atau hatinya. Jadi ciri-ciri orang yang lemah iman atau yang yakinnya lemah ini adalah mengukur pembicaraan Nabi Saw ini dengan akalnya bukan dengan yakinnya. Sedangkan Akal manusia ini lemah, dangkal, sangat kecil kemampuannya. Akal Manusia biasa dibanding dengan akal Nabi Saw ini sangat jauh sekali perbedaannya. Ini dikarenakan Akal Nabi Saw ini sempurna, melebihi kemampuan akal manusia. Karena itulah ukuran standard janji Allah ini bukanlah akal manusia. Akal manusia ini terlalu dangkal untuk dapat menerimanya, tidak akan sanggup. Jadi akal manusia ini bukanlah suatu standard untuk menilai syariat dan hakikat. Jika akal ini digunakan sebagai standard maka orang macam ini akan merubah-rubah ketentuan agama. Orang macam ini akan meletakkan agama bedasarkan akal pikirannya saja. Hari ini perusakan-perusakan agama di seluruh dunia terjadi disebabkan oleh akal-akal manusia, mereka berkata, “Apa ini ajaran ? tidak masuk akal….. ini semua sudah beda jamannya, tidak logis lagi.” Ini perkataan mereka yang menjadikan akal sebagai ukuran beragama. Padahal akal manusia ini dibanding dengan kemapuan akal Nabi Saw ini tidaklah sebanding. Akal manusia ini terlalu kecil kemampuannya dibanding akal Nabi Saw.
Firman Allah Swt : “Dengan nikmat dari Allah Swt engkau ini (muhammad) bukanlah seorang yang gila….” (mahfum)
Ulama mengatakan bahwa Allah membagi akal ini dari 100 bagian. Dari 100 ini maka 1 bagian Allah bagikan ke seluruh mahluk, dari ulama, fuqaha, ilmuwan, dokter, ada akal, sampai ke seluruh manusia dari jaman nabi Adam AS sampai manusia yang terlahir terakhir kali menjelang kiamat. Dari sini kira-kira setiap orang ini dapat berapa persen dari 1 akal yang Allah bagikan ke seluruh manusia. Jadi kecil sekali kemampuan daripada akal manusia ini. Sedangkan 99 bagian lain Allah Swt berikan sendiri kepada Rasullullah Saw. Jika keadaannya seperti ini apakah sebanding kemampuan akal manusia dibanding dengan akalnya Rasullullah Saw ? tidak mungkin sebanding. Buktinya apa ? ya syariat itu sempurna. Syariat yang dibawa Nabi Saw ini sempurna. Kesempurnaan syariat yang dibawa Nabi Saw adalah sebagai bukti kesempurnaan akal Nabi Saw. Sehingga syariat Nabi Saw menghapus syariat yang lain termasuk yang dibawa oleh Nabi-nabi terdahulu. Pada waktu Mi’raj pun Nabi Saw menjadi imam sholat dari seluruh Anbiya. Semua nabi-nabi mengikut Rasullullah Saw. Syariat yang lalu dan yang akan datang hanya mengikuti syariat yang Nabi Saw.
Jadi standard agama ini ukurannya bukan akal manusia. Contoh :  menurut akal manusia zakat itu mengurangi harta, dan riba itu menambah harta. Padahal menurut agama dengan zakat harta bertambah, dan dengan riba harta berkurang, inilah yang namanya Yaqin atau Iman. Karena itulah ukuran agama ini bukan akal tetapi perintah Allah Swt. Khobar dari Allah ini hubungannya dengan perintah Allah Swt. Sedangkan akal manusia ini hubungannya dengan ahwal, keadaan. Akal manusia ini hanya bisa melihat ahwal bukan perintah Allah Swt. Sudah menjadikan keputusan Allah Swt bahwa Allah Swt tidak menjadikan akal sebagai standard hukum syariah. Sebab akal hanya melihat ahwal. Ketika kita mendengarkan daripada perkataan Nabi Saw lalu kita pegang teguh, itulah yang namanya Iman. Kita yakini dan kita pegang teguh sabda Nabi Saw itulah yang namanya Iman Yaqin. Ketika Allah datangkan Ahwal yang bertentangan antara akal dan perintah Allah, ini untuk apa ? untuk membedakan, mana yang yaqin pada Allah dan mana yang tidak. Jadi untuk menguji keyakinan manusia ini, maka Allah datangkan ahwal-ahwal yang bertentangan, untuk menentukan mana yang yaqin dan mana yang tidak. Janji Rasullullah Saw ini banyak bertentangan dengan ahwal yang nampak.
Kisah Nabi Saw membeli Kuda
Suatu ketika Nabi Saw membeli kuda dari seorang Badui, setelah mencapai kesepakatan, maka mereka melakukan ijab kabul penjualan. Lalu beberapa saat kemudian sebelum kuda itu diberikan, datang orang menawar harga kuda yang telah dibeli Nabi Saw dari si Badui. Oleh si Badui ini harga tersebut disetujui. Maka Nabi Saw protes, “Bukankah kuda ini sudah saya beli, kamu sudah jual kesaya, dan saya telah beli, kenapa di jual lagi ke orang lain.” Maka si Badui katakan, “Belum saya jual, belum, kapan saya katakan seperti itu ? demi Allah belum saya jual kuda ini.” Si Badui ini begitu yakin karena ketika pembelian terjadi mereka hanya berdua saja, Cuma ada Rasullullah Saw dan si Badui tadi. Lalu kata si badui tadi, “Begini saja kalau memang kamu ada saksi, bawa kemari, nanti saya kasih kuda ini.” Pada waktu itu tidak ada orang ketiga, hanya ada mereka berdua yaitu Nabi Saw dan si Badui. Ketika terjadi perdebatan, datanglah seorang Sahabat Hudzaifah RA mendengar pembicaraan Nabi Saw dan si Badui. Mendengar permintaan dari si Badui tadi, Hudzaifah RA berkata, “Kalau begitu saya saksinya….. Saya jadi saksi bahwa Rasullullah Saw ini betul-betul telah membeli kuda dari kamu.” Orang Badui minta saksi, kini saksi telah ada, ini kan sudah sesuai berarti.
Secara keimanan tidak ada persaksian yang lebih kuat dari persaksian Hudzaifah Ra, sebab apa ? ini karena persaksiannya berdasarkan berita dari Rasullullah Saw. Persaksian atas dasar keimanan bukan karena penglihatan, yaitu atas dasar berita dari Rasullullah Saw. Hudzaifah berkata, “Aku menjadi saksi atas berita dari Rasullullah Saw.” Maka tidak ada persaksian yang lebih kuat daripada persaksian Hudzaifah RA. Beginilah sahabat RA belajar keimanan. Seandainya waktu itu Hudzaifah RA katakan, “Wah saya tidak bisa jadi saksi, kan saya waktu itu tidak ada, bagaimana bisa jadi saksi.” Ini namanya sudah ragu-ragu dengan perkataan Nabi Saw, bukan ragu tapi tidak percaya. Maka iman sudah keluar ketika kita tidak percaya perkataan Nabi Saw. Naudzubillah.
Allah Swt mendatangkan keadaan bersama Rasullullah Saw ini untuk apa ? untuk menguji Iman umat. Di situ akan terlihat apakah seseorang itu yakin pada perkataan Nabi Saw atau ragu atau tidak percaya. Padahal beritanya ini ghaib dan bertentangan dengan akal manusia. Maka intihan bagi para sahabat RA ini berat-berat. Maka ketika Hudzaifah ini bersaksi, Rasullullah Saw bertanya, “Wahai Hudzaifah bagaimana kamu bisa bersaksi, padahal kamu tidak ada disitu pada waktu itu, tidak melihat kejadiannya.” Jadi melalui pertanyaan ini, Rasullullah Saw menguji lagi daripada keimanan Hudzaifah. Rasullullah Saw menguji bukan ragu. Apa jawab Hudzaifah RA :
“Ya Rasullullah engkau menceritakan kepada kami tentang Surga, tentang Neraka, tentang Mahsyar, tentang Kubur, tentang Malaikat, yang kami belum pernah lihat. Semua yang engkau sampaikan kami percaya walaupun kami belum pernah melihat. Apabila berita yang besar-besar ini saja kami bisa percayai dan kami Yakini, bagaimana dengan berita-berita kecil macam pembelian kuda ini.”
Inilah ciri-ciri orang yang yakin pada berita dari Nabi Saw. Berita Nabi Saw akan dipegang teguh dengan penuh keyakinan. Maka apa kata Nabi Saw, “Setelah hari ini persaksian Hudzaifah RA ini sama dengan persaksian yang dilakukan oleh 2 orang nilainya.” Sebab kejujurannya sudah dibuktikan oleh Rasullullah Saw. Inilah yang namanya keyakinan yaitu 100% percaya pada khabar dari Nabi Saw.
Iman bil Ghoib apa maksudnya ini ? yaitu kita mengambil saksi atas dasar berita Ghoib sumbernya. Hari ini Fadhilah Amal tidak baca, Muntakhob Hadits tidak dibaca, bagaimana mau belajar iman ?  Dengan menceritakan yang ghoib-ghoib maka iman bil ghoib akan datang kepada kita. Kejadian seperti kisah Hudzaifah ini sangat banyak sekali, namun kalau kita tidak baca bagaimana akan tau. Akhirnya pergerakan dakwah ini hanya tinggal pergerakan saja, menjadi organisasi, pengaturan saja. Padahal Iman ini ada tandanya. Kisah Hudzaifah Ini adalah contoh Iman bil ghoib. Orang yang percaya setelah melihat bukan iman bil ghoib namanya.  Kalau sudah melihat adzab Allah Swt, itu bukan iman namanya.
Iman bil ghoib ini adalah azas. Bagaimana mendatangkannya yaitu dengan menceritakan yang ghoib-ghoib. Janji Allah ini semuanya ghoib, dari kubur, mahsyar, shirot, surga, dan neraka, ini semuanya ghoib. Yakin pada Janji dan Ancaman, Selamat masuk surga ataupun disiksa di neraka.
Bahan Bakar Neraka
Dalam pembicaraan dengan sahabat RA, nabi Saw katakan bahwa :
“Kayu Bakar Neraka itu adalah Manusia dan Batu”
Salah seorang sahabat duduk di batu yang besar, dia bertanya kepada Rasullullah Saw, “Kayu bakarnya dari batu ? berarti batu-batunya besar sekali. Apakah batu-batunya sebesar-besar batu di dunia ?”
Nabi Saw sabdakan
“Satu Batu di neraka itu lebih besar daripada seluruh gunung di dunia.”
Maka begitu ta’ashurnya para sahabat RA, sehingga keyakinan mereka tambah kuat lagi. Keyakinan akan bertambah ketika ada Ta’ashur. Ta’ashur ini bukan sekedar pengetahuan. Pengetahuan itu tidak ada Ta’ashurnya, tidak mendatangkan kesan. Ta’ashur akan ada apabila ada keyakinan. Sebab kalau hanya pengetahuan, orang muslim dan non muslim sama saja, kedua-duanya bisa belajar dan mengetahui. Maka begitu sahabat mendengar langsung di ingat dan di hayati. Sahabat RA ketika mendengar kayu bakar neraka adalah manusia dan batu, dan batu-batunya melebihi gunung-gunung di dunia, goncang dia dan langsung pingsan. Jantungnya masih berdetak, lalu sama Nabi Saw talqin katakanlah “La illaha Illallah Muhammaddarussullullah”. Setelah mengucap talqinan Rasullullah Saw, Nabi Saw katakan “Kamu adalah ahli surga”, lalu sahabat tersebut meninggal dunia. Sahabat RA yang lain yang melihat itu ngiri, “Wah enak sekali, di talqinkan oleh Nabi Saw, terus masuk surga.” Para sahabat RA yang disitu bertanya, “Ya Rasullullah Saw janji ini hanya untuk dia saja atau untuk kita semua.” Nabi Saw katakan : “Janji Allah ini hanya untuk orang yang takut menghadap kepada Allah Swt. Maka janji ini untuk dia.”
Oleh karena itu 4 hal ini : Qobuliat, Pahala, Istiqomah, dan Janji Allah Swt ini, hanya bisa didapatkan apabila ada Iman. Tatkala ada iman maka semua amalan dilakukan dengan Yaqin. Tanpa Iman maka keyakinan akan keluar dari kehidupan kita. Hari ini dakwah dunia jalan juga melalui iklan-iklan. Hari ini orang bersusah payah dan bersabar untuk dunia. Demi dunia umat hari ini rela menahan penderitaan dan hinaan. Sedangkan menahan penderitaan dan hinaan hari kita tidak bisa. Orang rela menahan penderitaan dan hinaan untuk agama, namun untuk agama tidak bisa. Kita untuk dunia segala macam hinaan siap ditanggung. Namun untuk agama ? baru di ganggu sedikit sudah tidak kuat. Padahal orang yang siap menahan penderitaan demi agama, maka Allah akan muliakan dia dan Allah akan gunakan dia terus menerus untuk agama.
Kisah Abdullah bin Hudzafah
Abdullah bin Hudzafah ketika membawa rombongan tertangkap oleh pasukan romawi. Maka abdullah bin hudzafah RA dibawa menghadap Raja. Raja katakan kepada Abdullah bin Hudzafah, “Kalau engkau mau masuk kedalam agama Nasrani, maka kamu akan aku berikan separuh dari kerajaanku.” Namun apa kata Abdullah bin Hudzafah RA, “Walaupun kamu bisa memberikan seluruh kerajaanmu ditambah dengan seluruh kerajaan yang ada di Arab, sekejap matapun aku tidak akan pindah dari Islam.”
Masyeikh katakan jika ada seseorang yang mau bersusah payah menahan penderitaan demi agama, Allah akan muliakan dia. Orang yang siap bersusah payah di jalan Allah, maka Allah akan berikan dia istiqomah. Hari ini orang untuk perkara kecil rela meninggalkan agama, padahal sahabat dahulu walaupun hanya sekejap mata dengan janji diberikan separuh kerajaan, tidak dia tinggalkan. Hari ini sudah biasa orang muslim menikahkan anaknya dengan muslim, karena cinta , agama ditinggalkan. Meninggalkan agama untuk kepentingan dunia, ini bukanlah hal aneh lagi sekarang.
Tatkala umat ini meninggalkan dakwah maka merubah-rubah syariat, menggampang-gampangkan agama ini menjadi mudah, dalam kehidupan. Setiap orang akan membuat pernyataan masing-masing tentang Agama. Agama di logikakan berdasarkan keadaan dan akal manusia. Sehingga agama tidak menjadi seperti seharusnya, sudah ditinggalkan tidak lagi dipegang secara kuat. Semua jadi serba dimudah-mudahkan, ingin ini diambil, ingin itu diperbolehkan, lalu ditaut-tautkan dengan agama lain. Akhirnya menerima agama lain menjadi mudah, amalan agama lain menjadi seakan-akan amalan kita juga. Inilah fakta kerusakan dalam kehidupan ummat hari ini. Maka untuk menjaga agama ini bagaimana caranya ? yaitu dakwahkan Agama.
Abdullah bin Hudzafah ditawarkan separuh kerajaan, namun apa yang dikatakannya walaupun diberikan seluruh kerajaan ditambah dengan seluruh kerajaan di arab, berapa menit ? sekejap mata sekalipun tidak akan dilakukan. Raja menawarkan harta, Abdullah bin Hudzafah menolak, maka sekarang Raja merubah strateginya dengan mengancam nyawa abdullah bin hudzafah RA. Raja katakan, “Wah orang ini rupanya bukan orang yang tamak. Kalau begitu saya bunuh aja kamu.” Namun Abdullah bin Hudzafah RA tidak gentar, “Silahkan lakukan saja apa yang kamu mau. Kalau mau bunuh saya, bunuh saja silahkan.” Maka oleh Raja panggil pasukan pemanah untuk berbaris siap memanah Abdullah bin Hudzafah RA. Melalui intimidasi Raja memerintahkan pemanah memanah Abdullah bin Hudzafah, namun panah-panahnya sengaja targetkan di atas kepalanya, diantara kakinya, disebelah lehernya, tangannya, Abdullah bin Hudzafah RA, tidak ada yang mengena. Setelah itu Raja kembali menawarkan kepada Abdullah bin Hudzafah setelah menakut-nakutinya, “Bagaimana sudah mau pindah ke Nasrani ?” Begitupun Abdullah Hudzafah RA menolak, “Tidak saya tidak akan mau pindah ke Nasrani.”
Raja tidak kehabisan akal, berikutnya diancam dengan air panas yang mendidih. Di jejerkan orang-orang lalu di cemplungkan ke air yang mendiding hingga meninggal dunia. Raja katakan, “Kalau kamu tidak mau mati maka pindah saja ke Nasrani beres kamu tidak perlu mati.” Ketika Abdullah bin Hudzafah berada di depan air mendidih yang siap merebus badannya, dia menangis. Melihat Abdullah bin Hudzafah menangis, Raja berpikir mungkin dia ketakutan hingga menangis, sepertinya sekarang Abdullah bin Hudzafah sudah mau merubah pendiriannya menerima Nasrani. Raja kembali menawarkan,“Bagaimana kamu sudah mau menerima Nasrani sebagai agamamu, tidak perlu takut, kalau kamu pindah kamu tidak perlu mati?” Abdullah  bin Hudzafah katakan, “Oh bukan, bukan karena takut mati, saya menangis karena andaikan saya punya nyawa sebanyak bulu dibadan saya, hingga setiap mati hidup lagi, lalu  saya ceburkan mati lagi, lalu hidup lagi. maka semuanya akan saya korbankan. Sehingga setiap kematian Allah berikan Pahala. Sayang sekali nyawa saya hanya satu.” Inilah keyakinan Abdullah bin Hudzafah terhadap janji Allah, sehingga rela mengorbankan segalanya untuk agama. Abdullah bin Hudzafah RA sadar bahwa ini adalah takaza dari Allah Swt, sehingga jika punya nyawa yang banyak satu demi satu akan dia keluarkan dan dikorbankan untuk Takaza ini.
Melihat sikap Abdullah bin Hudzafah ini, Raja makin bingung, “Orang yang demi agamanya, nyawanya saja tidak dia pedulikan, apalagi dengan harta. Seseorang yang begitu mencintai agamanya, bagaimana dia bisa cinta padaku.” Melihat hal seperti ini akhirnya Raja membuat penawaran terakhir, “Bagaimana jika kamu mencium kepala saya, maka saya akan lepaskan kamu.” Inilah bukti orang yang bisa menahan penderitaan untuk agama, maka Allah akan berikan dia kemuliaan. Apa kata Hudzafah RA, “Saya akan cium kepala kamu dengan syarat semua orang islam yang menjadi tahanan kamu bebaskan.” Raja bilang, “Baik kalau kamu cium kepala saya, maka saya akan bebaskan semua orang islam di tahanan.” Abdullah bin Hudzafah sadar bahwa kepala yang akan dia cium ini adalah kepala musuh Allah, ini merupakan suatu penderitaan untuk mencium kepala musuh Allah. Namun jika ini dilakukan bisa membebaskan semua orang islam dari tahanan. Maka Abdullah bin Hudzafah maju dan mencium kepala Raja. Setelah itu semua orang islam dibebaskan dari tahanan dan dibawa kehadapan Khalifah Umar RA. Ketika Amirul Mukminin mendengar laporan dari Abdullah bin Hudzafah RA, Amirul Mukminin Umar RA langsung berkata, “semua orang islam wajib mencium kepala Abdullah bin Hudzafah, dimulai dari saya dulu.” Ini kemuliaan diberikan karena apa ? tatkala ada susah payah menahan penderitaan demi agama. Selain kemuliaan, bagi orang yang sanggup menahan penderitaan demi agama, maka Allah swt akan berikan istiqomah. Bahkan Allah berikan pahala pembebasan orang-orang islam dari penjara. Ini asbab dia menahan penderitaan yang sedikit mencium kepala Raja.
Hari ini orang disuluruh dunia siap menahan penderitaan untuk dunianya tetapi untuk agamanya tidak bisa. Apa yang dia dapatkan dari pengorbanannya untuk dunia ? Bukannya mendapatkan kemuliaan, yang didapatkan justru penderitaan dan kehinaan. Padahal dia sudah menahan penderitaan untuk mendapatkan kemuliaan dunia, namun akhirnya dia tidak dapat apa-apa selain kesusahan demi kesusahan. Inilah pentingnya dakwah agar mereka tidak tertipu sama dunia.
Apabila kita dakwahkan agama maka keyakinan akan datang. Setelah keyakinan datang baru berikutnya Ikhlas. Keikhlasan ini akan mendekatkan kita kepada Allah. Yakin pada Allah ini salah satunya adalah Yakin pada Al Quran. Apa maksudnya yakin pada Quran ? yaitu apa yang diperintahkan kita kerjakan dan apa yang dilarang kita tinggalkan, ini baru namanya Yakin pada Qur’an. Mengamalkan apa yang diamanatkan oleh quran itulah yang namanya Yakin pada Quran.
Ghibbah
Kita harus fikirkan tanda-tanda iman itu apa ? Kita menyesal karena berbuat dosa juga merupakan tanda-tanda iman. Hari ini orang islam melakukan dosa tidak ada penyesalan, kenapa ? karena sesuatu yang dilarang atau diharamkan oleh agama, sudah bersifat umum atau sudah biasa dilakukan. Tidak ada hewan yang memakan daging manusia sebanyak manusia memakan daging manusia lain, siapa itu ? yaitu orang yang berghibah. Orang suka Ghibah ini mereka memakan daging manusia melebihi hewan yang memakan daging manusia. Manusia memakan daging manusia lain begitu banyak yang hewanpun tidak bisa memakannya. Orang ghibah itu pasti makan daging orang islam, dan ini susah tobatnya. Dosa Zina ada bentuknya dan tobatnya tapi kalo Ghibbah ini tidak ada bentuk dan susah tobatnya, hanya Allah saja yang tau.
Rasullullah Saw sampaikan :
“Ghibbah itu lebih besar daripada Zina”
Zina ini adalah dosa besar sekali, Nabi Saw sampaikan :
“Orang berzina ini sama seperti orang yang menyembah berhala.”
Ini dikarenakan orang berzina itu imannya telah keluar dari hati. Setelah Iman keluar baru dia bisa berzina. Maka sahabat heran Zina yang begitu besar dosanya itu, bagaimana Ghibbah ini bisa lebih besar lagi dosanya ? Dosa besar yang telah dilakukan secara umum maka akan dianggap seperti dosa kecil saja. Dosa besar menjadi seperti dosa kecil, karena apa ? ini karena sudah menjadi umum dilakukan, biasa saja. Ketika dosa besar dipraktekkan secara besar-besaran dan rutin maka akan menjadi seperti dosa kecil saja. Maka sahabat RA heran Ghibbah ini Nabi Saw katakan lebih besar dari Zina. Sahabat bertanya, “Ya Rasullullah bagaimana dosa ghibbah ini bisa lebih besar dari Zina ?”
Nabi Saw sampaikan :
“Dosa Zina ini masih bisa termaafkan disisi Allah, tapi Ghibbah ini tidak bisa dimaafkan disisi Allah Swt.”
Orang berzina ini bisa tobat, bahkan orang syirikpun bisa tobat. Orang tobat dari syirik masih bisa Allah bisa maafkan. Orang yang syirik asal dia bertobat dan doa minta dimaafkan oleh Allah Swt masih bisa dimaafkan. Tetapi kalau Ghibbah ini adalah bagian dari hak manusia, haknya hamba Allah. Misalnya orang merampas barang dari toko orang lain, maka dia harus mengembalikan barang curiannya dan minta maaf kepada pemiliknya.
Nabi Saw katakan :
“Orang yang mengghibah minta maaf dulu kepada orang yang di ghibbah”.
Ini karena hak hamba Allah bukan hak Allah untuk memaafkan. Inilah sebabnya Rasullullah Saw sabadakan bahwa ghibbah itu lebih besar daripada zina. Ini karena dosa ghibbah ini tidak langsung Allah maafkan, beda dengan zina bisa bertobat kepada Allah dan bisa Allah maafkan, tapi kalo Ghibbah ini Allah tidak bisa memaafkan. Sahabat datang ke mesjid lalu berghibbah, maka Nabi Saw katakan kepadanya :  “Kamu ini telah mempermainkan Al Quran.”  Sahabat itu mengatakan, “Saya beriman kepada Al Qur’an.”
Namun Nabi Saw katakan :
“Orang yang tidak meninggalkan larangan Allah, maka orang ini tidak beriman kepada Al Quran.”
Kita perlu selalu fikirkan apa itu tanda Iman ? kalau kita tau tandanya maka kita akan tau kondisi Iman kita. Orang bergembira atas ketaatan dan bersedih jika melanggar perintah Allah, maka ini sebagian dari tanda Iman. Jika ada perasaan gembira dalam beramal dan sedih ketika bermaksiat, ini bagian dari tanda keimanan. Namun kalau kita lemah Iman, maka meninggalkan perintah Allah dan melakukan perbuatan dosa ini jadi biasa saja, tidak ada kekhawatiran sama sekali. Kondisi seperti ini akan menyebabkan keyakinan terhadap agama akan keluar dari hati. Jika kita kita dakwahkan agama, maka keyakinan akan masuk kedalam hati. Mengamalkan agama ini harus ada keyakinan dalam hati. Apabila agama jauh dari keyakinan, maka akan mudah ditinggalkan. Hari banyak orang berilmu tapi berkelakuan seperti orang-orang bodoh tanpa ilmu. Banyak orang yang punya ilmu tapi tidak beragama. Dia tahu perintah dan larangannya dalam agama, tapi tidak diamalkan. Ini karena apa ? tidak ada keyakinan. Maka untuk merubah ini semua, kita harus dakwahkan agama. Ini karena dengan dakwah maka keyakinan akan datang. Inilah kekhususan amal dakwah, yaitu mendatangkan keyakinan. Sehingga dengan dakwah, keyakinan terhadap dunia akan hilang menjadi yakin pada agama. Semua kerusakan ini terjadi karena keyakinan manusia terhadap dunia. Manusia yakin pada dunia sehingga meninggalkan agama. Agama hilang karena tidak adanya keyakinan dalam diri manusia.
Manusia itu apa yang diyakini itulah maka itu yang diutamakan. Orang mau sholat karena ada keyakinan dalam sholat, sedangkan yang tidak sholat karena tidak ada yakin pada sholat. Orang mau beramal karena yakin pada yang Ghoib, tetapi kalau yakinnya pada yang dilihat maka amal akan ditinggalkan. Hari ini karena asbab, orang meninggalkan sholat. Orang yang sholat karena asbab, Allah akan rusakkan asbab tersebut. Sehingga dengan sholat, Allah akan rusakkan asbab. Karena asbab orang merusakkan sholat, maka Allah akan rusakkan asbab dengan sholat. Orang yang menjadikan asbab antara dia dengan Allah, maka amalnya tidak akan nampak dan tidak ada bekasnya. Orang yang menjadikan asbab antara dia dengan Allah, maka amalannya tidak akan bisa terjaga. Orang muslim mempunyai asbab yang sama dengan non muslim, mereka juga ada perdagangan, pertanian, pekerjaan, dan profesi lainnya. Lalu yang membedakan itu apa ? yang membedakan kalau orang islam itu dalam asbab menjaga perintah Allah, kalau orang kafir tidak. Orang islam dalam menjalankan asbab menjaga perintah Allah, tapi kalau orang kafir tidak, semuanya cara dihalalkan dan dibolehkan. Jadi antara kita dengan Allah ini bukanlah asbab, tetapi agama, perintah-perintah Allah. Apa yang dijanjikan Allah Swt hanya dengan perintah-perintah Allah. Didalam keduniaan ini tidak ada janji Allah dan Qudratullah. Janji Allah ini dengan amal bukan dengan keduniaan atau akal manusia. Qudratullah Allah berikan dengan Janji, janji bagaimana ?
“Iyyakana’budu wa Iyyakanashta’in” : “Kepada engkau kami menyembah dan minta pertolongan.”
Allah Swt satukan ibadah dengan Doa. Sedangkan orang-orang berpikiran menyatukan asbab dengan do’a. Ada asbab baru doa, ini pendapat orang-orang pada umumnya.  Orang-orang berkata setiap ada masalah bahwa diusahakan dahulu dengan asbab baru dengan doa. Muamalah Allah Swt dengan orang muslim bukan seperti itu, bukan melalui asbab, kalau melalui asbab, itu muamalah Allah Swt dengan non muslim. Orang non muslim bersandar pada asbab, maka ketika Allah berikan, semua beres. Allah berikan asbab-asbab kepada orang non muslim, Allah penuhi keinginan mereka, sehingga mereka makin lupa pada Allah Swt dan Akherat. Hingga hari ini Allah siap menolong kita, tapi kita penuhi cara yang Allah mau. Kita menjadikan asbab antara kita dengan Allah, maka ini bertentangan dengan ketentuan Allah. Ketentuan Allah tidak seperti itu dengan orang muslim, asbab ini hanya bagi orang non muslim. Bagi orang non muslim, kamu siapkan asbab, nanti aku yang bereskan. Orang non muslim itu yakinnya pada asbab : pada perdagangan, pada kekuasaan, pada harta, maka yang seperti itu Allah penuhi. Sedangkan para Nabi AS ini tidak Allah berikan asbab, agar umat ini belajar tanpa Asbabpun Allah bisa memberikan pertolongan. Namun kalau para nabi ada asbab, maka mereka nanti yakinnya karena ada asbab baru ada pertolongan Allah Swt. Sahabat RA pangkal kurma bisa berubah menjadi pedang dalam peperangan. Batang kurma kecil tapi dipegang sahabat RA bisa berubah menjadi pedang. Kisah-kisah seperti ini bukan hanya sekedar untuk diceritakan saja.
Orang hari ini meyakini kalau ada senjata pasti menang, padahal janji Allah Swt bukan dengan asbab. Mereka bilang kita harus siapkan senjata kita agar musuh takut, padahal janji Allah ini bukan pada asbab melainkan pada sunnah Rasullullah Saw. Dalam kisaha Sahabat RA, dikisahkan asbab pasukan islam ini bersiwak, musuh menjadi ketakutan hingga lari. Para musuh yang tidak bisa dikalahkan dengan senjata, malah ketakutan hingga lari. Dengan apa pasukan musuh dikalahkan ? dengan sunnah Rasullullah Saw. Dengan Sunnah Nabi Saw ini maka Allah akan datangkan ketakutan pada pihak musuh. Allah akan buat musuh-musuh ini takut asbab Sunnah Nabi Saw. Sahabat malah heran ketika itu, kenapa orang islam ini tidak bisa menang, amal apa yang kurang ? Sedangkan pihak musuh, orang-orang non islam, yang dilihat adalah asbabnya, apa yang kurang ? apakah senjatanya ? apakah perlengkapan perangnya ? beginilah cara berpikir orang non islam.
Jadi perbedaan dalam pemikiran orang islam dengan orang non islam ketika datang suatu keadaan adalah :
1.     Orang islam akan melihat Amal dalam setiap keadaan
2.     Orang non islam akan melihat asbab dalam setiap keadaan
Jadi ketika kemenangan bagi orang islam ini tertahan, maka sahabat mencontohkan untuk mengevaluasi amal-amalnya, apakah sudah sempurna ? apakah sesuai dengan tertib ? amalnya dulu yang dikoreksi oleh para sahabat RA. Ada masalah, Sahabat fikirnya adalah amalan yang. “Oh mungkin ada amalan saya yang kurang ? Munkin ada amalan saya yang salah sehingga pertolongan Allah tidak datang ? Atau pasti ada sunnah yang tidak sempurna dilaksanakan ?.” Beginilah fikir sahabat setiap ada masalah. Maka kita penting bermuhasabbah, mengevaluasi, kekurangan dari amal-amal kita dalam setiap masalah yang kita hadapi. Sekarang siapa yang bisa membuat keputusan seperti itu ? yaitu hanya orang-orang yang menjadikan Amal atau perintah Allah Swt antara dia dengan Allah Swt, bukan orang-orang yang menjadikan asbab antara dia dengan Allah Swt. Orang yang menjadikan asbab antara dia dengan Allah, tatkala ada masalah dia akan disusahkan dikarenakan kurangnya asbab. Dia akan berpikir, “Bagaimana ini, asbab ini tidak ada, asbab itu tidak ada.” Sehingga dia akan merasa hidupnya penuh dengan kesusahan. Beda dengan orang yang menjadikan amal antara dia dengan Allah. Tatkala kesusahan datang maka dia akan kembali kepada Allah dengan amal dan doa. “Ya Allah cukupilah diriku, Engkaulah pemberi Rizky.” Mudah saja bagi orang beriman, ini karena gantungannya hanya kepada Allah bukan kepada asbab. Ini penyakit berbahaya, jika seseorang menjadikan asbab sebagai gantungan antara dirinya dengan Allah, sementara Allah tidak menjadikannya seperti itu. Jika Allah tidak menjadikan asbab antara hambaNya dengan Allah, kenapa kita justru menjadikan asbab antara kita dengan Allah.
Bagaimana orang beriman itu menyelesaikan suatu masalah ? yaitu dengan shodaqoh. Shodaqoh ini bisa memancing pertolongan Allah. Namun apa yang terjadi hari orang islam menyelesaikan masalah dengan menyogok. Ada masalah fikirnya menyogok orang agar tidak dikenakan masalah, ini namanya menyelesaikan masalah dengan masalah. Padahal jika dia bershodaqoh, 1 rupiah saja ini jika Allah terima sudah mencukupi untuk mendatangkan pertolongan Allah, dibanding memberi uang banyak tapi untuk menyogok. 1 Rupiah saja Allah hargai bila untuk shodaqoh, tetapi jika untuk menyogok maka yang didapat adalah murka Allah. Nabi Saw bersabda :
“Memberikan shodaqoh kepada orang muslim dengan tangan sendiri maka akan menjauhkan musibah yang datang tiba-tiba.”
Inilah yang dicontohkan Nabi Saw, ketika memberikan shodaqoh langsung kepada orang miskin dengan tangannya sendiri. Hari ini orang kaya begitu sibuknya tidak ada kesempatan mencari orang miskin sehingga tidak bisa memberikan shodaqoh langsung pada orang miskin dengan tangannya sendiri. Kenapa ini bisa terjadi ? kesibukan mengurus harta sehingga tidak punya waktu. Hari ini kita cari counter-counter pelayanan zakat, tidak mau bersusah-susah. Padahal perintahnya :
“Bagi yang berzakat carilah orang miskin sebagaimana orang yang mau sholat mencari air wudhu.”
Orang yang mau sholat ini harus mencari wudhu untuk melaksanakan sholat, maka orang berzakatpun juga begitu, harus mencari orang miskin terlebih dahulu agar bisa berzakat. Sholat ini Fardhu, begitu juga Zakat, merupakan amal fardhu juga, tidak ada bedanya. Itulah sebabnya Amirul Mukminin Syaidina Abu Bakar RA mengatakan :
“Kepada orang yang tidak mau membayar zakat akan aku perangi.”
Inilah kepentingannya antara sholat dan zakat, yang sama-sama fardhu, tidak boleh dibeda-bedakan, yang membeda-bedakan, perangi, tidak ada bedanya sama sekali. Inilah keputusan Abu Bakar RA sbg Khalifah. Hari ini kemana kita membayar zakat ? ke badan-badan, ke yayasan-yayasan. Mestinya orang berzakat ini, Muzaki, mecari orang miskin atau penerima zakat, mustahid, sebagaimana orang yang mau sholat mencari air. Orang mencari air itu susah payah, supaya bisa sholat, begitu juga zakat. Sesuatu yang pasti-pasti ini harus kita kerjakan. Zakat dan Doa ini, ada janji Allah Swt yang pasti, tetapi tidak dilakukan, yang dilakukan justru menyogok, padahal itu jelas dosa.
Kisah Hikmah
Ada seorang anak buah Raja yang ketahuan disogok untuk menyelesaikan masalah-masalah seorang pengusaha. Maka ada yang melapor kejadian ini kepada Raja. Raja katakan kepada anak buah, “Sudah, mulai hari ini kamu tidak usah kerja lagi.” Maka si orang itu katakan, “Saya ini mau melakukan apa ? saya ini ahli membuat perhitungan. Kalau saya tidak berhitung maka otak saya bisa rusak. Maka Rajakan katakan, “Kalau kamu memang kamu ahli hitung-hitungan, maka sekarang kamu hitung didepan saya , ini ada hitung-hitungannya, dari pagi sampai sore berapa air yang dibutuhkan kerajaan. Lalu nanti kamu beritahukan.” Maka sore-sore si ahli hitung ini melaporkan kepada Raja, bahwa air yang dibutuhkan ada sekian banyak. Maka berikutnya ada yang melapor lagi bahwa si ahli menghitung masih mengambil uang suap. Ini sudah 3 – 4 hari begini, ada kapal mau lewat tetapi tidak bisa lewat. Namun tertahan asbab si ahli menghitung jumlah air dari tempat kapal itu lewat. Si ahli menghitung bilang kepada nahkoda kapal, “Jangan lewat disini, kapal tidak boleh lewat karena saya harus menghitung jumlah air di sungai ini.” Maka yang punya kapal katakan, “Ya sudah saya beli airnya sekian, agar kapal bisa lewat.” Akhirnya si ahli hitung ambil suap lagi. Inilah penyakit yang ada dalam kehidupan manusia hari ini. Kemunafikan ini bersatunya dengan penyakit, sedangkan keimanan bersatunya dengan kesehatan.
Jadi yang perlu kita fikirkan adalah bagaimana antara diri kita dengan Allah hubungannya adalah dengan amal. Kerusakan keyakinan yang masuk dalam hati kita ini dikarenakan yakin pada asbab. Oleh karena itulah antara kita dengan Allah ini yang ada haruslah keyakinan pada amal. Allah swt tidak pernah memberikan janji dengan asbab. Asbab ini tidak bisa mendatangkan Janji Allah dengan Qudrahnya. Maka yang harus kita yakini untuk bisa mendatang janji Allah dengan Qudrahnya adalah yakin pada amal. Yakin dengan sholat, maka Allah akan jadikan sholat ini sebagai asbab terselesainya segala masalah. Kita harus yakini dengan sholat masalah-masalah kita akan selesai. Kita yakin pada sholat karena perintah bukan atas janji. Hari ini orang sholat fikirnya, saya sholat supaya ada keberkahan, supaya urusan dunia saya beres, ini salah.  Sehingga orang sholat untuk cinta pada dunia bukan pada Allah. Orang memilih jalan hidup agama untuk menjauhkan dari kesusahan dunia. Sehingga yang terjadi tatkala masalah dunia beres, maka agama ditinggalkan lagi. Inilah orang-orang yang menggunakan agama supaya dunia jadi baik. Ini suatu yang tidak mungkin, karena dari niatnya saja sudah salah. Ini namanya kerusakan niat. Kerusakan niat adalah menggunakan agama untuk menjaga dunianya. Padahal yang diperintahkan Allah itu apa ? untuk dunia ini Allah perintahkan menggunakan agama, maka Allah perbaiki dunia ini.
Hari ini yang terjadi orang mengamalkan agama untuk memperbaiki dunianya. Lihatlah kenyataan hari ini yang amal dunianya paling baik, dialah yang paling jauh dari agama. Semakin baik dunianya kebanyakan makin jauh dari agama. Dia akan berpikir, “saya ini sudah baik adanya, kenapa harus membuat diri saya bersusah payah lagi.” Orang yang tidak beragama meyakini bahwa orang yang ahwal dunia tidak baik, itu tanda-tanda kemurkaan Allah. Orang berpikir jika dunia datang kepada dia berarti Allah sayang pada dia. Padahal ketika dunianya makin baik, dia semakin jauh dari agama, semakin sulit mengamalkan agama, ini sebenarnya tanda kemurkaan Allah, pasti. Tanda-tanda Allah murka pada hambanya, maka hambanya ini semakin sulit mengamalkan agama. Dengan datangnya keduniaan, seseorang ini akan semakin sulit mengamalkan agama, inilah kenyataan. Agama tidak diamalkan dan dunia semakin baik, itulah tanda kemurkaan Allah. Padahal yang Allah inginkan adalah seseorang mengamalkan perintah Allah dalam segala keadaan. Orang Allah beri kaya berarti Allah cinta sama dia, Orang Allah beri miskin berarti Allah benci sama dia, bukan seperti itu. Itu hanya keadaan-keadaan saja. Allah maunya kita ketika mendapat musibah tetap mengamalkan agama, dan ketika mendapatkan kebaikan dan tidak ada musibah tetap mengamalkan agama. Bukan ketika ada musibah saja dia mengamalkan agama tetapi ada musibah ataupun tidak, tetap mengamalkan agama. Dalam keadaan rusak dia tetap mengamalkan perintah Allah, yang seperti ini Allah akan Ridho. Orang miskin dan orang yang mendapat musibah tanda kemurkaan Allah, bukan seperti itu. Cinta dan Murka Allah bukanlah dengan asbab dunia-dunia. Kita beramal agama supaya berkah hartanya, bukan seperti itu. Akhirnya orang beramal agama untuk mendapatkan keuntungan dunia. Jika seperti ini agama bisa hilang dari kehidupan. Agama memang bisa mendatangkan keberkahan, tapi kita mengamalkan agama bukan untuk mendapatkan keberkahan dunia.
Memberikan pahala ini adalah hak Allah Swt. Seandainya seluruh manusia dikumpulkan, dari sahabat RA sampai para Anbiya AS, untuk menahan seseorang yang sudah diputuskan Allah Swt masuk kedalam neraka, maka tidak ada satupun yang bisa menahannya. Ini yang harus dipahami apa itu hak Allah. Begitu juga seseorang yang mengamalkan agama untuk mendapatkan keberkahan ini juga merupakan Hak Allah Swt. Sebagaimana Allah kirim seseorang tanpa kesalahan apapun kedalam neraka, itupun juga hak Allah Swt, terserah Allah Swt. Kehidupan begitu juga, berhajat kepada Allah Swt. Jangan hanya mengira kalo mengamalkan agama dunia jadi bagus, tidak harus seperti itu, ini adalah hak Allah Swt. Seseorang sujud dari lahir hingga mati, dihadapan Allah Swt dia akan menganggap amal dia tidak ada apa-apanya, sangat kecil sekali. Ini karena apa ? ini karena semua amal ini sepenuhnya adalah hak Allah Swt.
Orang yang lemah iman ini istigfarnya untuk asbab-asbab dunianya, sedangkan orang-orang sholeh ini istighfarnya untuk amal-amalnya atau kebaikan yang dilakukan. Beramal baik tetapi masih istighfar, ini ciri-ciri orang sholeh. Sedangkan orang awam istighfar atas dosa, memang betul itu yang diperintahkan oleh Allah Swt. Hanya saja orang-orang sholeh itu beristighfarnya atas kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan. Mengapa demikian ? ini karena semua kebaikan yang bisa kita kerjakan ini sepenuhnya adalah hak Allah Swt. Abu Bakar RA ini kesholehannya paling tinggi diantara para sahabat RA. Setelah Rasullullah Saw ini siapa yang paling mendekati kesholehannya ? yaitu Abu Bakar As Shiddiq RA. Tatkala minta diajarkan doa, yang diberikan oleh Nabi Saw adalah perbanyak istighfar. Orang yang istighfar akan amal baiknya, maka Allah akan sempurnakan amalnya. Sedangkan orang yang tidak beristighfar akan amalnya, maka akan ada kebanggaan, kesombongan, dalam amalnya, amal seperti ini tidak akan Allah terima. Bangga terhadap amal sendiri, ini tidak disukai oleh Allah Swt. Orang-orang yang mendakwah diri sendiri ini, Allah tidak suka. Bagaimana orang mendakwahkan diri sendiri ? yaitu ketika dia mengatakan saya sudah melakukan amal ini dan saya sudah melakukan amal itu.
Jadi yang namanya Agama ini adalah hak Allah Swt sepenuhnya, terserah Allah mau menunaikan atau tidak hak-hakNya. Jadi Allah Swt itu tidak mempunyai kewajiban apapun terhadap hambaNya, ini yang seharusnya kita renungkan. Maka orang masuk surga bukan karena amal, melainkan karena kebaikan Allah Swt, bukan karena kewajiban Allah Swt. Setelah melakukan amal, Allah wajib memasukkannya ke surga, bukan seperti  itu. Amal ini memang perintah Allah untuk dikerjakan, namun masuk surga ini bukan karena amal, tetapi karunia dari Allah Swt. Tidak ada keharusan bagi Allah memasukkan surga dengan amal, melainkan masuk surga dengan karunia, kasih sayang, Allah Swt.
Nabi Saw berkata kepada Aisyah R.ha :
“Wahai Aisyah tidak ada satu amalpun yang bisa menyebabkan seseorang masuk surga.”
Aisyah berpikir, kalau amal-amal tidak bisa menyebabkan masuk surga, bagaimana dengan Rasullullah Saw ? maka aishar R.ha bertanya, “Kalau untuk engkau bagaimana ya Rasullullah ?” Nabi Saw katakan, “Sayapun juga demikian, sama saja, yang menyebabkan saya masuk surga ini bukan karena amal saya melainkan karena karunia, kasih sayang, Allah Swt.”
Maka seluruh manusia di akherat nanti akan dibangkitkan dalam keadaan penuh ketakutan. Bahkan para anbiya sekalipun ketika dimintakan syafaat, mereka para anbiyapun juga dalam keadaan ketakutan. Para Anbiya akan mengatakan, “Pergi ke Nabi yang lain, coba minta kepadanya.” Semua manusia dalam ketaktukan termasuk orang-orang sholeh sekalipun. Pada hari itu Allah Swt begitu Murka, yang murkanya tidak pernah seperti itu. Bahkan setiap nabi akan memukul kepalanya sendiri ketakutan, “Bagaimana ini….bagaimana ini…” Setiap Nabi akan menghitung kesalahannya masing-masing, semuanya merasa banyak dosa :
1.     Nabi Adam dimintai syafaat dia akan bilang, “saya tidak bisa, saya sudah melakukan dosa besar. Saya sudah memakan buah yang terlarang.”
1.     Nabi Ibrahim juga begitu, “Saya tidak berani, saya sudah melakukan dosa besar.”
1.     Nabi Musapun juga begitu, “Saya tidak bisa, sayapun telah melakukan dosa besar.”
Siapa Ibrahim AS ? Siapa Musa AS ? mereka adalah ulul azmi, Nabi yang utama atau yang paling dekat dengan Allah Swt. Namun bagaimana keadaan mereka ? ketakutan. Semua Nabi mengatakan hal yang sama ketika manusia datang kepada mereka mohon syafaat agar selamat dari murka Allah Swt.  Semua anbiya ketakutan tidak ada yang berani memberikan syafaat. Setelah tidak ada satu anbiyapun yang berani, maka mereka akhirnya datang kepada Rasullllah Saw untuk meminta syafaat. Di masa itu hanya Rasullullah Saw lah yang mempu memberikan syafaat.
Maka melihat keandaan para anbiya sekalipun di akherat, kita ini yang bukan anbiya perlu menyesali dosa-dosa kita. Bahkan jangan dosa-dosa saja yang kita sesali, amalpun kita sesali. Menyesali dosa itu sudah suatu keharusan dan pasti, namun amalpun juga harus kita sesali. Di mahsyar bahkan para anbiya sekalipun mengecilkan amalnya dan membesarkan dosanya dihadapan Allah. Jadi jangan kita berbangga dengan amal-amal yang telah kita kerjakan. Orang yang suka menyesali amalnya, maka akan disempurnakan amalnya oleh Allah Swt. Orang suka menyesali amalnya fikirnya, “Kenapa amal saya ini kurang sekali mutunya ? kenapa amal saya ini lemah sekali ? kenapa amal saya ini tidak maksimal saya kerjakan ? Bagaimana Allah Swt mau menolong saya amal saya jelek begini ?” Amal yang di dakwahkan dengan penyesalan terhadap diri sendiri, maka dia tidak akan menuntut keberkahan kepada Allah Swt. Ini yang benar, beramal tapi tidak menunut keberkahan, karena apa ? ada penyesalan dalam amalnya. Orang yang menyesal karena dosa ataupun amal maka Allah akan sempurnakan amalnya. Ini harus dipahami jika ada seseorang secara keduniaan dia kurang, dia lagi susah, berarti Allah lagi murka, dan orang yang keduniaannya dan keadaannya baik berarti Allah sayang pada dia, tidak, bukan seperti itu.
Kisah Hikmah
Ada seorang anak bayi sedang menetek meminum susu ibunya. Tiba-tiba si ibu ini melihat ada seorang perempuan sedang dipukuli dan diseret orang-orang dan dikatai, “Dasar Pencuri…… dasar Penzina”. Melihat keadaan ini si ibu berdoa, “Ya Allah jangan jadikan anakku seperti wanita pencuri dan penzina itu.” Mendengar doa ibunya si anakpun melepaskan susuannya lalu berdoa, “Ya Allah jadikanlah aku seperti wanita yang disakiti itu.” Si anak setelah berdoa kembali menetek lagi. Beberapa saat kemudian lewatlah seorang kaya raya dan berwibawa. Maka si ibu berdoa, “Ya Allah jadikanlah anakku seperti dia (orang kaya itu).” Lalu si anak melepaskan susuannya kembali dan berdo’a, “Ya Allah jangan jadikan aku seperti orang ini (si kaya tersebut)” Ini kenapa si ibu berdoa seperti itu dan si bayi berdoa yang bertentangan dengan doa ibunya. Ini karena si ibu berdoa berdasarkan pandangan yang dia lihat, Padahal apa yang sebenernya tidak seperti yang terlihat. Ternyata si wanita yang disiksa tadi adalah wanita yang sholehah dan si orang kaya tadi rupanya seorang yang dzolim. Inilah yang di minta dan yang seorang dimohon perlindungan oleh di bayi tadi.
Orang musyrikin Quraish ini kenapa tidak mau menerima dakwah Nabi Saw, ini karena keadaan dzohir Nabi Saw ini kacau, tidak enak dilihat.
Nabi Saw sampaikan ketika berdakwah : “Wahai hatib bin hasyim apakah engkau tidak mau menerima dakwah saya karena kemiskinan saya.”
Janji Allah Swt ini bukan maksud, tapi mau’ud, dijanjikan bukan dimaksudkan.  Keberkahan ini Mau’ud, dijanjikan, bukan dimaksudkan. Orang yang menjadikan janji Allah ini sebagai maksud bukan mau’ud, maka Allah jadikan orang tersebut meninggalkan agama. Ini patut kita fikirkan dan direnungkan. Kalau Surga yang begitu abadi selamanya itu hanya dijadikan Mau’ud saja, yang dijanjikan, bagaimana mungkin dunia yang rusak dan sementara ini dijadikan Maksud. Padahal surga itu yang begitu tinggi tingkatannya dibandingakan dunia, itupun bukan dijadikan maksud tapi mau’ud, apalagi dunia ? Jadi maksud itu apa ? maksud itu adalah Allah Swt. Maksudnya Allah Swt, Mau’udnya adalah Surga. Jadi surga ini yang dijanjikan bukanlah maksud, tetapi mau’ud. Jika tidak begini maka orang mengamalkan agama untuk dunianya saja. Agama atas dasar suasana ketaatan ini sementara semua. Orang yang mengamalkan agama untuk ahwal, ini seperti obat untuk orang sakit. Tatkala sakit obat ada, lalu ketika sembuh obat ditinggalkan. Hari ini begitu pula, orang mengamalkan agama karena ahwal-ahwal saja, tatkala ahwalnya sudah bagus agama ditinggalkan. Kita beramal agama bukan untuk memperbaiki keadaan, tetapi kita beramal agama untuk mentaati perintah Allah. Dalam keadaan apapun perintah Allah akan kita lakukan. Jadi agama ini bukan mengikuti ahwal, tetapi ahwal yang mengikuti agama. Oleh sebab itu ketika mau mengamalkan agama ini pertama kali yang harus kita luruskan adalah luruskan niat kita.
Kita, semua orang, diperintahkan Allah untuk beribadah dan berdakwah. Dakwah dan Ibadah ini perintah Allah Swt. Allah swt sudah memerintahkan kita untuk beribadah dan berdakwah. “Wa’bud rohbut akhtayasa yaqin” : “Sembah Allah sampai Mati.” “Wad’ud illa sabili robbika” ini perintah dari Allah untuk siapa ? untuk semuanya. Orang beramal dan tidak amal, dakwah ini perintah Allah. Mau dia beramal dan tidak beramal, Allah perintahkan mereka untuk beramal. Dakwah itu untuk perbaikan diri sendiri. Sebagian orang mengatakan, “saya tidak mau berdakwah karena saya sendiri belum mengamalkan.” Padahal tidak ada syarat dalam berdakwah ini harus diamalkan dulu, bukan syarat yang seperti. Kita amalkan dulu baru kita dakwahkan, bukan seperti itu yang diminta. Memang benar orang yang berdakwah itu hendaknya mengamalkan apa yang dia dakwahkan. Tetapi jangan dibalik belum mengamalkan tidak boleh mendakwahkan, ini pernyataan tidak ada di quran dan tidak ada di hadits, tidak ada larangan seperti itu. Orang yang mau beramal saja sedikit, maka jika seperti itu yang mau berdakwah bisa lebih sedikit lagi.
Dakwah ini diperintahkan untuk semua orang, karena dakwah ini untuk menghidupkan amal agama. Supaya hidup amal agama dengan dakwah. Jadi kalau syaratnya dakwah ini harus amal berarti yang bisa berdakwah hanya orang-orang yang beramal saja terutama orang-orang tempatan saja yang nampak.
Rasullullah Saw sampaikan :
“Dakwahkan kebaikan walaupun kalian belum bisa mengamalkannya”
Ada dalam hadits dan ayat Al quran dikatakan, “Mengapa kamu bicara padahal kamu belum mengamalkan ?” sehingga asbab ini banyak orang tidak mau berdakwah sebelum mengamalkan. Padahal maksud ayat dah hadits ini bukan seperti itu. Ayat dan Hadits tersebut berlaku bagi orang-orang yang berdakwah untuk memperbaiki orang lain. Pedagang berdakwah tentang dagangannya itu sebenernya untuk dirinya sendiri bukan untuk pembeli. Si pedagang berdakwah mengenai dagangannya untuk kepentingan dirinya bukan untuk kepentingan si pembeli. Oang yang punya hutang banyak lalu dia berdagang, maka dia akan bilang kepada orang-orang, “Beli ini…beli ini..” sebab kenapa ? dia berdagang ini untuk membayar hutang, bukan karena untuk membantu pembeli, bukan seperti itu. Jadi kita dakwah untuk diri sendiri, terserah mereka mau terima atau tidak, mau percaya atau tidak.
Orang bilang inikan ada ayatnya, main dakwah-dakwah saja, belum tau ayatnya sudah dakawah-dakwah saja. Padahal terjemahannya tidak seperti itu dan maksudnya tidak seperti itu. Terjemahannya adalah :
“Limatakunu limatafalun”
Kamu memerintahkan saya untuk mengamalkan ini tapi kemudian kamu sendiri tidak mengamalkan, inilah terjemahan yang sebenarnya. Kenapa kamu katakan, “saya mau berjihad” tetapi kamu tidak berangkat berjihad. Maka kalian mengatakan sesuatu yang kalian sendiri tidak akan melakukan.
(dibacakan ayat al quran) oleh maulana saad.
Kisah Nabi Isa AS
Orang-orang berbicara kepada Nabi Isa AS, “Nanti kalau dimintakan perang kita akan perang.” Tetapi setelah diminta, malah duduk semua, tidak ada yang mau. Atas perkara ini Allah ingatkan mereka. Allah Swt berfirman untuk mengingatkan mereka. “Bukankah kalian dulu berjanji, jika ada perintah berjihad, maka kalian mau berjihad, sekarang sudah ada perintah berjihad kenapa kalian tidak mau berjihad !” itu hubungannya kesana.
Namun sekarang orang salah mentafsirkan. Kalau belum beramal kok berani mendakwahkan, ini lain maksudnya. Jadi tidak ada larangan belum beramal tidak boleh berdakwah. Tidak ada larangan orang yang melakukan maksiat, dia tidak boleh melarang maksiat, tidak ada aturannya seperti itu. Jika seseorang belum bisa mengamalkan amal baik, tidak ada larangan untuk mendakwahkan amal tersebut.
Nabi Saw sabdakan :
“Perintahkan kebaikan walaupun kamu belum bisa mengamalkan semuanya, Cegah kemungkaran walaupun kamu belum bisa meninggalkan semuanya.”
Saya belum sholat tahajjud, bagaimana saya bisa mengajak orang tahajud ? saya masih melakukan dosa, bagaimana saya bisa melarang orang berbuat dosa ? saya ini masih banyak melakukan dosa, bagaimana saya bisa mendakwahkan agama ?
“Orang yang tidak mau berdakwah karena dia belum beramal ini seperti orang yang tidak mau berpuasa karena dia belum sholat.”
Maksudnya apa ?  ini dua perintah yang berlainan. Puasa itu suatu perintah, tetapi Sholat itu suatu perintah yang lain. Jadi kalau orang tidak sholat, lalu tidak berpuasa, maka dua-duanya ditinggalkan. Ini sama saja meninggalkan 2 perintah Allah. Apakah karena tidak sholat sehingga ada izin untuk tidak puasa ? tidak seperti itu, itu dua perintah yang berbeda. Inilah tafsir dalam Kitab Ma’riful Quran oleh Ummu syafiroh, dia meluruskan :
“Orang yang tidak beramal kemudian dia tidak mau mendakwah amal itu maka ini seperti orang yang tidak mau berpuasa karena dia belum sholat.”
Padahal ini perintah yang lain satu sama lain : sholat perintah yang tersendiri, puasa perintah yang tersendiri. Menjalankan perintah dengan mencegah kemungkaran ini suatu perintah. Bukan berarti belum beramal lalu kemungkaran di diamkan saja, tidak mau dakwah, tidak bisa begitu, rusak nanti umat. Kita niatkan bahwa kita dakwah untuk diri kita sendiri. Buktinya apa kita berdiri niat keluar di jalan Allah. Insya Allah !!
Maulana  Saad Al Khandalawi, Masyeikh, Syuro Dunia, Markaz Nizammuddin, India, Tarjim Maulana Harun Al Rasyid, Bayan Subuh, Musyawarah Indonesia Nizammuddin 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar